Cinta Terlambat
Di setiap kataku
Ku sampaikan cinta ini
Ohh cinta kita
Ku tak akan mundur
Ku tak akan goyah
Meyakinkan kamu mencintaiku
Tuhan ku cinta dia
Ku ingin bersamanya
Ku ingin habiskan nafas ini berdua dengannya
Setelah selesai membersihkan tubuhnya dan juga selesai membereskan kamar miliknya Kaina langsung keluar dari dalam kamar, ia pergi ke dapur untuk memasak.
Luka di dahi nya juga sudah di obati semalam. Hari ini adalah hari minggu, biasanya hari ini adalah jadwal Kaina untuk memasak di satu hari full dari sarapan pagi siang dan malam.
"Mas Brian lepasin! Lengan aku sakit!" pinta Kaina berusaha untuk melepaskan genggaman keras tangan Brian di lengan mungilnya.
Brian langsung menghentikan langkahnya. Sekarang mereka berdua sudah berada di depan gudang.
"Sakit? Sudah tau sakit kenapa kau malah ikut campur urusan aku, Hn? Apa kamu sudah siap mati di
"Dia aku kurung!"
Tita semakin geram dengan kelakuan Brian.
"Biadap! Laki laki gak ada akal sehat! Rendah sekali harga dirimu menjadi seorang laki laki! Bisa bisanya berbuat jahat pada perempuan. Kamu itu Eeeeeeeh.... BRENGSEK SEKALI! Cepat kasih tau di mana Kaina sekarang."
Kaina duduk di lantai sebelah kanan ranjang kamar tidur, memeluk erat kedua lututnya. Diam merenungi jalan hidupnya yang tidak sesuai dengan keinginan nya.
Tangisan itu tidak pernah berhenti di pipi Kaina. Setiap hari dia akan selalu menangis bahkan di perlakukan kasar oleh Brian dengan seenaknya.
"Kapan aku mati? Aku sudah sabar
Kaina bingung melihat Rangga tiba tiba membawa koper dan juga tas yang di gendongnya pada malam ini.
"Loh, loh loh mau kemana kamu Rangga?" tanya Kaina cepat, tadinya Kaina sedang merapikan meja makan untuk bersiap makan malam.
Rangga tidak menjawab pertanyaan Kaina, ia terus berjalan ke arah pintu luar. Matanya sudah terlihat sembab akibat menangis tadi bahkan bajunya saja tidak begitu rapi, terlihat acak acakan namun ketampanan nya bisa menutupi kekurangan itu.
"Rangga kamu mau kemana?"
Kaina masih tetap penasaran sedangkan Rangga tetap diam dan terus berjalan tanpa memperdulikan pertanyaan Kaina tadi. Kaina menyusul Rangga yang terus berjalan hingga sampai di ruang tamu.
"Rangga berhenti." pinta Kaina setengah berteriak.
Rangga menghentikan langkah nya namun dia tidak menoleh. Dia berdiri membelakangi Kaina dengan pandangan kosong ke arah luar.
"Kamu mau kemana? Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan aku? Kamu mau kemana malam malam begini?" Kaina mendekati Rangga. Dia berhenti di hadapan Rangga yang tetap memandang ke arah luar pintu.
"Kamu mau kemana? Tolong jawab, kakak bertanya kamu mau kemana?" Kaina mengulangi pertanyaan nya.
Rangga melihat wajah Kaina. "Gue mau ke London," jawab nya singkat.
Kaina terkejut mendengar jawaban itu. Dia bingung kenapa tiba-tiba Rangga ingin pergi ke London secara mendadak.
"Mau ngapain kamu ke London Ga? Jangan aneh aneh, kamu lebih baik masuk ke kamar bawa semua barang barang ini lalu bersiap untuk makan malam. Ini sudah malam kamu jangan aneh aneh deh, ayo masuk ke dalam kamar kamu."
Kaina berusaha ingin membantu membawakan Koper Rangga untuk balik ke dalam kamarnya namun suara Brian berhasil membuat niatan Kaina terhenti.
"Mau ngapain kamu? Dia itu mau berangkat ke London waktu Rangga tidak banyak dia harus tiba di bandara setengah jam lagi, jika dia di tahan sama kamu seperti ini dia akan ketinggalan pesawat jika terlambat!" ujar Brian.
"Tapi kenapa Rangga harus pergi ke London secara mendadak seperti ini? Ada apa?" Kaina mulai panik.
"Jangan hiraukan dia Rangga, waktu mu hanya setengah jam lagi. Jika kamu tidak cepat berangkat kamu tidak akan bisa berangkat malam ini ke London." tutur Brian.
Rangga mencoba untuk berjalan keluar pintu namun Kaina menahan koper Rangga untuk pergi. Dia masih ingin penjelasan tentang kepergian Rangga ke London secara mendadak itu.
"Tolong jelaskan kepada aku terlebih dahulu kenapa Rangga harus terbang ke London malam ini?" Kaina masih ingin jawaban tentang pertanyaan nya itu.
Brian berjalan mendekat ke arah Kaina dan Rangga. Dia kesal terhadap Kaina yang mencoba menghalangi kepergian Rangga untuk ke London.
"Cepat pergi Rangga! Waktu mu tidaklah banyak, jangan buang waktu mu jika kamu tidak mau menyesal seumur hidup."
"Tidak jangan Rangga, kamu gak boleh pergi sebelum menjawab pertanyaan aku dulu, jangan!" Kaina menahan koper itu dengan sekuat tenaga agar Rangga tidak benar benar pergi.
Brian kesal dengan tingkah Kaina itu, dia langsung menarik tubuh Kaina agar tidak menghalangi Rangga untuk pergi.
"Tolong Mas jangan usir Rangga." Mohon Kaina sambil mencoba lagi untuk menghalangi Rangga pergi.
Brian mengunci tubuh mungil Kaina di dekapannya membuat Kaina diam tidak berkutik.
"Cepat pergi Rangga! Di depan sudah ada sopir yang menunggu kamu, sudah aku pinta kepadanya agar mengantar kamu ke Bandara dengan selamat. Sudah cepat sana jangan diam, cepat pergi Rangga!" pinta Brian sambil menahan Kaina di dekapannya.
Rangga menarik kopernya lagi, dia berjalan keluar pintu tanpa menghiraukan Brian dan Kaina, yang ada di pikiran nya saat ini adalah sang Oma tidak ada yang lain lagi hanya sang Oma tercinta.
"Mas tolong jangan usir Rangga, Rangga jangan pergi, RANGGA!" teriak Kaina histeris berusaha untuk mencoba melepaskan dekapan kuat Brian.
Brian mencoba menutup pintu lalu menguncinya dengan sebelah tangan nya. Tangan yang satu Brian masih menahan tubuh Kaina.
"Mas tolong batalkan kepergian Rangga! Mas Brian tolong."
Suara mobil keluar dari halaman rumah Brian berhasil membuat Kaina berteriak histeris hingga menangis.
"RANGGA! JANGAN PERGI RANGGA!!" teriak nya.
"Rangga aku mohon jangan pergi," ucap nya lirih sambil terus menangis.
Brian memejamkan matanya sebentar, berusaha untuk tenang dan tidak terbawa emosi.
[semoga kamu sampai dengan selamat ke bandara Ga. Maaf kakak gak bisa ikut karena harus mengurus semua bisnis di sini, sekali lagi maaf Rangga. Aku nanti akan menelfon kamu jika kau sudah sampai di sana dengan selamat,] Ujar Brian di dalam hati.
Kaina menangis sejadi-jadinya hingga dia sesenggukan. Kaina masih salah paham dengan pergi nya Rangga ke London. Kaina mengira bahwa Rangga pergi karena di usir oleh Brian maka dari itu dia sangat histeris melihat Rangga pergi ke London di malam ini secara mendadak.
Tiba-tiba pandang Kaina buram hingga kemudian dia pingsan di dekapan Brian, dari sejak tadi pagi Kaina tidak makan karena sibuk membersihkan semua ruangan di rumah sebesar itu.
Ketika Brian ingin melepaskan Kaina dari dekapannya tiba-tiba tubuh Kaina lemas dan hampir saja jatuh ke depan namun Brian berhasil menarik tubuh Kaina hingga menempel lagi di dada bidangnya.
"Lah, kok malah pingsan gadis tolol ini. Hedeh nyusahin orang lain saja hidupnya ini orang!" Brian kesal.
Brian mencoba untuk mengendong tubuh mungil Kaina, dia membawa Kaina masuk ke dalam kamar Kaina yang berada di lantai bawah.
Brian menatap wajah Kaina dari dekat sambil terus berjalan menuju kamar Kaina. Bibir mungil berwarna pink natural Kaina berhasil membuat Brian tergiur untuk mencobanya. Brian menghentikan langkah kakinya. Dia diam lalu menatap wajah Kaina yang masih pingsan di gendongannya, beberapa detik kemudian Brian mencoba untuk mencicipi bibir itu.
Rasa penasaran semakin kuat menghipnotis nafsu Brian untuk merasakan bibir yang masih belum pernah tersentuh sama sekali. Brian mendekatkan wajah nya ke wajah Kaina yang berada di gendongannya.
Mata Brian terpejam lalu mencium bibir itu dengan hanya sekilas saja. Tiba-tiba brian merasakan detak jantung yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, Brian menatap wajah polos itu.
Bayangan wanita kecil kembali bermain di pikirannya, rasa rindu semakin menjadi di kala itu. Brian langsung menggeleng geleng kan kepala nya agar tidak kepikiran kemana mana.
"Tidak tidak! Aku gak akan melakukan hal itu lagi, ayo Brian jangan buat jalan balas dendam kamu hancur hanya karena ini. Inget tujuan kamu untuk membuat Tita dan gadis tolol ini sengsara, inget itu." ucap Brian berbicara sendirian.
Brian lanjut melangkahkan kaki nya lagi untuk menuju kamar Kaina. Setibanya Brian di kamar Kaina, dia langsung menidurkan tubuh Kaina di atas ranjang dengan sangat pelan, ia juga membantu menyelimuti tubuh Kaina.
Setelah selesai Brian langsung duduk di ranjang sebelah Kaina. Dia mengusap karas wajah nya lalu melihat ke arah sekelilingnya, rapi dan terlihat bersih. Selama dua bulan Brian tidak pernah melihat isi kamar itu.
Brian melihat ke segala penjuru ruangan. Melihat secara teliti kamar Kaina namun tiba-tiba dia merasakan malas yang begitu luar biasa. Dia merebahkan tubuhnya di ranjang itu juga, menatap langit langit kamar Kaina.
"Akan seperti apa rencana aku berjalan kedepannya? Aku hanya berharap tidak mengecewakan dan tidak merugikan bagi ku," ucap Brian.
Brian terus dalam posisinya hingga kemudian dia mengantuk dan terus menguap tiba-tiba matanya terpejam. Dia tertidur di sebelah Kaina. Niatan untuk menelfon Rangga pun hilang, Brian tertidur di kamar Kaina dengan posisi bersebelahan di atas kasur yang sama dengan Kaina.
*
Kaina merasakan ada sesuatu di dekat nya, sesuatu yang membuat dia merasa tidak nyaman.
Kaina membuka matanya lalu mengusap usap mata tersebut. Dia melihat sesuatu yang membuat nya tidak nyaman itu, berapa terkejut nya dia ketika tau Brian sedang tidur di sebelahnya dan memeluk erat tubuh Kaina dari samping.
Wajah angkuh dingin dan kasar tidak berlaku pada saat ini. Wajah yang sebelumnya terkenal jahat tiba tiba menjadi lembut saat tertidur, polos dan terlihat mengemaskan.
Kaina bingung harus bagiamana sementara dia merasa tidak nyaman dengan posisinya itu. Jika Kaina bergerak sedikit saja sudah pasti Brian akan terbangun.
"Aku harus bagaimana ini? Jika aku bergerak aku yakin mas Brian akan terbangun, jadi harus bagiamana aku? Masak iya diam hingga Mas Brian bangun? Yang ada aku gak masak dan gak bisa bersihkan rumah ini," ucap Kaina bingung.
Kaina mencoba menyingkirkan tangan Brian dari atas perutnya dengan sangat berhati hati agar Brian tidak bangun namun Brian sedikit keganggu oleh itu lalu mempererat pelukannya lagi hingga membuat Kaina gemetar karena saking gugup nya.
Hembusan nafas Brian terdengar jelas di telinga Kaina. Kenyamanan hilang karena saking gugup nya. Sebelumnya Kaina tidak pernah di sentuh bahkan di peluk oleh seorang lelaki kecuali Ayah nya saja. Maka dari itu Kaina merasakan gugup yang sangat luar biasa ketika Brian memeluk erat tubuh Kaina walaupun Brian masih dalam kondisi tertidur pulas.
"Oh tidak aku tidak nyaman dalam posisi seperti ini, tangan aku gemetar," ucap Kaina dengan keringat dingin di tubuh nya.
Brian merasa terusik dengan itu. Ada sesuatu yang bergerak di hadapannya serta dia merasakan ada sesuatu yang basah di lengan nya. Dia membuka mata nya secara perlahan namun dia langsung kaget melihat Kaina kini sudah berada di hadapan nya bahkan di dalam pelukan Brian.
Brian langsung merubah posisinya menjadi duduk.
"Aaaaa, ngapain kamu ada di kamar aku? Sudah berapa kali aku katakan jangan pernah ke kamar aku! Kenapa kamu malah masuk ke sini sembarangan bahkan berani nya tidur di sebelah aku!" Brian marah.
Kaina langsung duduk di atas ranjang tersebut sementara Brian langsung menutupi tubuh nya dengan selimut. Brian memeriksa semua pakaianya yang masih tetap utuh seperti semula tetapi sedikit tidak rapi.
Brian menoleh ke arah Kaina juga dia ingin memastikan kalau pakaian Kaina masih tetap utuh di tubuh nya tanpa terlepas sedikit pun. Brian langsung menghembuskan nafas lega ketika selesai melihat itu.
"Syukurlah aku gak hilaf, untung aku kalau tidur gak main serang sembarangan." ucap nya langsung bernafas lega.
Kaina bingung melihat Brian yang tiba tiba aneh dan juga tanpa di sadari sekarang Brian sudah berada di dalam kamar nya, di atas ranjang yang sama pula.
"Kenapa kamu ada di dalam kamar aku? Jawab!" bentak Brian.
Kaina mengerutkan kedua alisnya, bisa bisanya Brian mengaku ngaku bahwa kamar tersebut adalah kamar milik nya sendiri.
"Jawab!"
"Coba kamu liat sekeliling kamar ini? Apakah kamar ini adalah kamar milik mu?" tanya Kaina.
Brian melihat ke sekelilingnya. Dia terkejut melihat ruangan itu, ia bingung kenapa bisa Brian tidur di dalam kamar gadis tolol itu tanpa ia sadari terlebih dahulu dan bahkan di atas satu ranjang yang sama. Brian juga mengaku ngaku bahwasanya kamar itu adalah kamar milik nya sendiri.
Brian terdiam. Dia masih mengingat ulang kenapa bisa dia tertidur di dalam kamar tersebut.
"Apakah kamar ini kamar kamu Mas?" tanya Kaina berhasil membuat Brian melirik nya tidak suka.
"Kamu tadi malem pingsan! Seharusnya kamu itu harus berterimakasih kepada aku karena telah mengendong kamu ke kamar ini!" ujar nya dengan nada tidak ikhlas.
Kaina tersenyum. "Terimakasih Mas dan selamat pagi." ucap nya.
Brian terpaku dengan senyuman manis di pagi ini, sebelum sebelumnya dia tidak pernah mendapatkan senyuman dari seorang wanita di waktu bangun tidur nya.
"Alay!"
"Loh kok alay, aku kan mengucapkan terimakasih kepadamu karena telah membawa aku ke kamar aku dan aku juga mengucapkan selamat pagi, agar pagi kamu menyenangkan di hari ini Mas." Kaina tanpa henti tersenyum manis pagi ini.
"Aku gak peduli dan satu hal lagi jangan kepedean karena aku memeluk tubuh kamu tadi! Itu bukan karena aku ingin memeluk kamu namun karena aku tidak tau sebab aku tertidur, jadi jangan mempunyai pikiran yang aneh aneh karena sampai kapanpun aku gak akan pernah mau menganggap kamu istri aku sampai kapanpun itu, kamu hanyalah alat pembalasan dendam saja bagiku!"
Ucapan itu berhasil membuat senyuman di bibir Kaina mulai memudar. Kaina mengangguk pelan, dia sadar bahwa dia bukanlah siapa siapa bagi Brian meskipun mereka telah sah menikah.
"Dan perlu di ingat juga! Aku berjanji aku gak akan pernah lagi menyentuh tubuh kamu. Entah itu sadar ataupun tidak sadar aku berjanji itu karena aku gak sudi tubuh aku menyentuh tubuh kotor milik mu. Akan Aku pastikan kejadian ini tidak akan pernah terjadi dan ini adalah yang terakhir untuk selamanya." kata Brian.
Kaina tiba-tiba merasakan ada yang aneh di dalam perutnya tiba tiba dia measa ingin muntah pagi ini.
Oek.
Oek.
Oek.
Kaina menutup mulutnya lalu berjalan dengan sangat terburu buru ke arah kamar mandi. Perut nya sudah tidak nyaman sekali saat ini, rasanya ingin muntah terusan.
Brian sontak syok melihatnya. Pemikiran jorok bermain leluasa di otak nya saat ini. Dia takut Kaina hamil namun Brian juga menyangkal pernyataan itu sebab dia tidak pernah menyentuh tubuh Kaina sedikitpun selama dua bulan ini.
"Enggak enggak aku kan gak ngapa ngapain dia. Mana bisa dia hamil, bukannya selama aku menikah aku pun gak pernah menyentuh tubuhnya. Masak iya aku melakukan itu malam tadi tanpa pengaman lalu kemudian paginya langsung hamil? Tidak tidak bukannya baju kami sama sama utuh tanpa lepas sedikitpun, bukankah itu pernyataan yang kuat kalau memang benar aku tidak melakukan hal yang begitu begituan." Ujar Brian memastikan ulang.
Brian mulai panik, ia takut Kaina hamil mendadak di buatnya hanya karena satu malam tidur di atas ranjang yang sama.
"Aku kan gak berbuat apapun ke dia kenapa dia tiba-tiba muntah begitu? Masak iya aku tiba-tiba jadi liar dan asal nyerang begitu saja saat tidur?" Brian mengingat ingat ulang apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.
Brian mengacak acak rambutnya frustasi. Dia takut kalau memang Kaina hamil di buatnya sebab Kaina adalah salah satu cara untuk menghancurkan Tita untuk menjadi hancur sekali bahkan sengsara.
"Gak mungkin aku seperti itu, aku yakin sekali aku gak melakukan hal begituan malam tadi." kata Brian penuh dengan keyakinan.
Brian bangun untuk menyusul Kaina namun sayang kakinya tersandung selimut hingga dia terjatuh ke lantai.
Brug!
"Aduh, malah jatuh lagi! Heh ini gara gara gadis tolol itu!"
Brian duduk lalu menyingkirkan selimut itu dengan sembarangan lalu dia menyusul Kaina ke dalam kamar mandi.
Rangga terus menatap ke arah luar jendela sambil memeluk erat foto dirinya bersama sang Oma tercinta, rindu dan penyesalan semakin menjadi di pikirannya. Tangisan pecah saat itu, di mana Rangga merasakan hancur yang sangat luar biasa melihat foto sang Oma tersenyum manis di foto.
"Oma, Rangga has returned to London. Tapi kenapa Oma malah pergi, pergi di saat Rangga tidak tau lebih dulu sakit nya kenapa Oma tidak mengabari Rangga, kenapa?" Air mata terus bercucuran di pipi Rangga.
Seseorang membuka pintu kamar tersebut lalu terlihat lah wajah cantik Nyonya Wilson.
Rangga tidak memperdulikan kehadiran siapapun itu, dia tetap pada posisi awal. Nyonya Wilson mendekat ke arah Rangga dengan membawa makan siang untuk nya.
"Rangga ini makanan kamu! Sudah jangan bersedih lagi, jika kamu bersedih kami juga akan ikut bersedih sayang," ujar Nyonya Wilson.
Rangga diam, percuma saja jika Rangga harus membalas ucapan itu yang ada hanya akan adu mulut yang terjadi.
"Rangga Come on, don't be like this, I don't like it. Rangga must be able, don't be sad anymore?"
"Shut up, Rangga doesn't want to hear anything from whoever it is. leave me alone!" ucap Rangga tetap dengan membelakangi Nyonya Wilson.
Nyonya Wilson menaruh makan siang Rangga pada meja yang berada di dalam kamar tersebut. Dia mendekati Rangga membuat Rangga semakin membuang muka.
"Sayang dengerin Mama dulu." pinta Nyonya Wilson memohon.
"Rangga didn't want to hear anything else!!" bentak Rangga.
"Baiklah, Mama tau bahwa kami semua salah telah merahasiakan ini dari Rangga, tapi Mama punya alasan tersendiri untuk ini."
"Apa alasannya?" tanya Rangga langsung.
"Oma kamu melarang Mama dan juga semua saudara saudara di sini untuk merahasiakan penyakit Oma itu dari kamu bahkan jika mati pun Oma kamu tidak ingin kamu tau, agar kamu tidak bersedih." tutur nya menjelaskan.
"Tetap saja jika Mama dan Ayah memberitahu ataupun tidak memberitahu Rangga akan tetap bersedih namun jika kalian memberitahu gue sebelum Oma meninggal mungkin gue gak akan bersedih seperti ini!"
"Sorry Rangga," ucap Nyonya Wilson merasa bersalah.
Rangga tidak menjawab itu, ia tetap dengan tatapan kosong nya ke arah luar jendela.
"Kamu makan dulu ya sayang?" pinta Nyonya Wilson dengan lembut.
"Rangga gak mau makan, titik!" Rangga cuek.
"Tapi sayang, kalau kamu gak makan nanti kamu sakit."
"Bodoamat! Mau sakit mau matipun gue gak peduli lagi, gak ada yang sayang sama gue di dunia ini."
Nyonya Wilson memegang bahu kanan Rangga namun Rangga tidak bereaksi dengan itu dia tetap dengan posisinya seperti di awal.
"Sayang, kami semua sangat sayang terhadap kamu! Gak mungkin kami tidak sayang sama anak kandung Mama yang satu ini, jadi kamu jangan selalu berfikiran seperti itu ya? Mama gak suka, kamu dan kak Brian itu sama, sama sama Mama dan Ayah sayangi tanpa membedakan satu sama lain." tutur Nyonya Wilson menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi.
"Kalian gak usah berpura-pura seperti itu, gue tau maksud kalian! Kalian hanya ingin membohongi gue kan? Kalian jelas lebih sayang terhadap si brengsek Brian itu kan, iya kan?" Rangga mulai kesal.
"Enggak, itu sangatlah tidak benar. Siapa yang berkata seperti itu kepada mu? Siapa lapor ke Mama biar Mama yang menanganinya, ayo sayang bilang siapa yang ngomong seperti itu kepada mu?" Nyonya Wilson penasaran.
"Brian si brengsek dan sombong itu kalau bukan dia siapa lagi, dia kan sok banget di rumah! Jadi raja seolah benar dan selalu sok menang!" cibir Rangga.
Nyonya Wilson tertawa mendengar aduan dari sang putra bungsunya itu.
"Lah kok tertawa? Itukan bener kalau Rangga ini bukan keluarga ini, iya kan? Ngaku aja deh."
"Ternyata putra bungsu Mama sedang mengadu tentang si kakak ya?"
Nyonya Wilson berusaha mengubah suasana agar Rangga tidak terlarut dengan kesedihan.
"Memang benar kan? Buktinya gue ngelakuin apapun pasti Mama dan Ayah tau, kalau bukan dari si brengsek itu siapa lagi?"
"Sstt! Gak boleh ngomong begitu, Brian kan juga kakak kamu sayang. Dia itu sayang sama kamu makannya dia itu selalu menegur kamu
wajah nya selalu dingin. Setiap sapaan karyawan yang ia lewati tidak pernah di jawab oleh Brian.
"Selamat pagi Tuan."
"Pagi Tuan muda."
"Selamat pagi Tuan muda Brian."
"Selamat pagi Pak."
"Selamat pagi Pak Brian."
Kurang lebih seperti itu sapaan dari para karyawan yang Brian lewati. Brian acuh, dia tidak peduli dengan semua sapaan yang hanya membuang waktu berharganya itu.
"Setiap hari menyapa Tuan muda tidak pernah di jawab yang ada hanya marah marah," kata salah satu karyawan perempuan yang berbadan agak gemuk.
"Iya senyum pun gak pernah terhadap semua karyawan apalagi mau menjawab sapaan kita," sahut teman nya yang berambut keriting.
"Kenapa bisa begitu ya? Padahal Tuan Wilson gak seperti Tuan muda, Malahan Tuan Wilson jauh lebih ramah dan murah senyum."
"Entahlah aku pun tidak mengerti tentang itu, yasudah ayo kembali bekerja."
Dua karyawan perempuan itu sedang membicarakan Brian. Mereka juga heran dengan sikap Brian, tidak pernah ada senyuman dan penuturan lembut.
Pemimpin muda yang mempunyai paras menawan, pandai dalam berbisnis, pintar dalam berbicara dan sadis dalam bekerja sama namun tidak pernah terlihat sekalipun tersenyum ke arah semua karyawan nya di kantor. Itulah yang sangat di sayangkan oleh semua karyawan melihat Brian yang selalu dingin dan jarang sekali tersenyum ramah.
Brian membuka pintu ruangan nya, ruangan yang selalu bersih dan tercium wangi yang khas kesukaan Brian, ia berjalan menuju kursi milik nya lalu duduk dan menyenderkan kepala nya.
Dia sempat memejamkan matanya sebentar, ada rasa yang tak biasa dia rasakan hari ini. Banyak sekali urusan yang masih belum selesai, entah itu urusan kantor ataupun urusan pribadi milik nya.
Mungkin semua orang yang melihat Brian baik baik saja, tenang tanpa masalah itu salah. Dia memanglah terlihat baik baik saja namun dalam hati dan pikiran nya dia sangatlah ambruk. Masalah percintaan yang tidak pernah bisa terlupakan harus di paksa untuk bisa melupakan, kekecewaan yang dalam tidak bisa di hilangkan dengan kekerasan.
Sulit dan sangat membingungkan itulah yang di hadapi Brian sekarang, berpura-pura kuat di mata semua orang namun aslinya lemah seperti kertas basah yang lama kelamaan akan hancur juga.
Brian mengusap kasar wajah nya. Jika saja teriak sekeras kerasnya bisa melupakan kenangan masa lalunya sudah dari dulu ia lakukan namun percuma saja, semua cara tidak ada yang bisa menghapus bersih Tita dari pikiran nya hingga saat ini meski Brian telah mempunyai hubungan dengan Lamela.
"Mungkin otak ini sudah bodoh sekali Tuhan. Selalu mengingat wanita tidak berkelas seperti dirinya, terlalu di butakan oleh kecantikan palsu nya dan di bodohi oleh ucapan busuk nya." Detak jantung Brian berdetak lebih kencang, rasa kesal kembali hadir.
"Aaaahhh!" Brian menjambak jambak rambut nya frustasi.
"Terlalu menjijikkan sekali untuk aku mengingat dia!"
Brian mencoba untuk mengontrol dirinya, ia memejamkan mata agar tidak terlalu terjebak dalam emosi jiwa.
[Tuhan, aku mohon ubahlah rasa sayang ini kepada orang lain. Aku mohon jangan kau berikan rasa cinta ini kepada si wanita tidak benar sepertinya. Hadirkanlah wanita yang benar-benar menetap dan tidak akan pergi pergi lagi agar tidak menimbulkan bekas luka yang mendalam, Tuhan. ]
Pinta Brian dengan penuh keseriusan di dalam hati mungkin dengan cara seperti itu takdir nya bisa berubah walaupun hanya sedikit saja.
"Aku gak boleh begini terus. Aku gak boleh menyerah sebelum terbalaskan dendam ini, iya aku gak boleh bodoh seperti ini."
Brian mulai menyemangati dirinya sendiri agar tidak kendor semangat nya di tengah jalan, agar dia benar-benar bisa membalaskan dendam nya terhadap Tita sang mantan kekasih terindah.
Cling...Cling... (Suara nada dering pesan masuk)
Brian mengambil HP milik nya dalam jas. Hp itu berbunyi menandakan bahwa sebuah pesan masuk dari seseorang di sebrang sana. Brian langsung membuka pin di hpnya lalu melihat langsung siapa yang mengirimkan dia pesan.
Mama Wilson.
Sayang kamu gak boleh begitu ya sama adek Rangga, kasihan. Jiika Rangga sudah pulang nanti ke Indonesia kamu jangan marah² ke dia ya sayang? Kasihan sama adik kamu jangan marah marahin terus dia. Iya, yasudah babay ILove You. Jaga kesehatan di Indonesia ya sayangku. :)
Setelah melihat dan membaca pesan masuk itu Brian langsung berubah menjadi malas sekali, dia melempar HPnya dengan sangat malas di atas meja tanpa membalas pesan dari Nyonya Wilson yang tidak lain adalah Mama nya sendiri.
"Hn, ternyata bocah itu mengadukan aku ke pada Mama dan Ayah di London. Heh, awas aja kamu Rangga akan aku buat kamu tutup mulut selamanya." ancam Brian.
*
Kaina mengangkat jemuran dengan sangat terburu-buru karena hujan datang tiba tiba sore ini, tadinya Kaina sedang memasak namun karena mendengar suara petir dan di susul dengan suara hujan lalu dia terburu buru untuk mengangkat jemuran yang mungkin sudah kering.
"Aduh, kenapa tiba-tiba menjadi begini? Hujan mendadak sore ini," ucap nya sambil berusaha cepat mengambil jemuran itu agar tidak basah karena hujan turun dengan sangat deras nya.
Kaina masuk ke dalam rumah dengan sangat kesusahan, pandangan nya terhalang oleh tumpukan jemuran yang dia bawa serta seluruh badan nya sudah basah karena air hujan. Dia berjalan dengan sangat berhati hati melewati pintu belakang, membawa semua baju itu keruangan khusus untuk di setrika dan di lipat nantinya namun Brian juga datang dari kantor waktu itu, dia berhenti melihat tumbukan baju berjalan dengan kaki. Tumpukan baju itu berjalan mendekat ke arah Brian namun dengan cepat Brian menyuruh nya untuk berhenti.
"Berhenti! Jika kau terus berjalan kau akan menabrak aku!" kata Brian.
Kaina langsung berhenti. "Eh, Mas Brian sudah datang? Iya iya Mas." jawab nya.
"Makanya dari tadi itu jangan malas malasan hingga lupa untuk mengangkat jemuran, kalau sudah hujan begini terburu buru hingga baju baju milik aku basah seperti itu! Sudah sana cepat bawa! Awas kamu jika baju baju itu berjatuhan lalu kotor lagi!" tutur nya.
Kaina tidak memperdulikan ucapan Brian itu, dia tidak kuat menahan semua jemuran yang menumpuk di tangan nya. Tubuh nya bergerak kanan kiri, berusaha untuk menahan semua baju itu agar tidak terjatuh ke lantai namun tangan itu menyerah dan semua baju tersebut jatuh di hadapan Brian setelah Brian kelar berbicara.
Brian langsung membulatkan mata nya padahal dia baru selesai berucap mengingatkan agar semua baju itu tidak jatuh dan kotor lagi.
"Heeh! Kan sudah di bilangin tadi kenapa malah di jatuhin semua baju baju nya? Aku gak mau tau kamu harus cuci semuanya itu!" bentak Brian.
Kaina tidak melihat wajah Brian dia hanya mengangguk dan langsung memungut semua baju tersebut.
"Sudah di bilangin malah gak di dengar juga!"
Kaina lagi lagi hanya bisa diam, sudah terbiasa baginya mendapatkan penuturan kasar bahkan perlakuan kasar pula.
Brian menatap tubuh Kaina yang sudah basah kuyup karena hujan tadi, wajah nya yang natural alami basah karena air hujan.
[Wajah itu ketika basah begitu, mengingatkan aku dengan perempuan kecil baik hati itu. Wajahnya persis sekali dengannya,] seru Brian di dalam hati.
*
"Rangga kenapa pergi ke London? Bukan karena di usir sama kamu kan Mas?" tanya Kaina pelan.
Sementara Brian tidak memperdulikan itu, ia terus menikmati makan malam nya.
"Iya kan Mas? Rangga pergi karena di usir?" Kaina semakin penasaran.
Brian langsung menghentikan makan nya, dia melempar garpu dan sendok ke arah lantai dengan sembarangan membuat Kaina yang berdiri di dekat Brian sontak sangat terkejut karena itu.
[Oh tidak aku melakukan kesalahan malam ini, ]
Kata Kaina di dalam hati nya lalu dia memilih untuk diam dan menunduk ketakutan. Brian menoleh ke arah Kaina, ekspresi kesal terlihat jelas di wajah nya sekarang.
"Bisa diam tidak? Tidak ada urusan nya kamu dengan Rangga, buat selera makan aku hilang saja!" bentak nya.
"Maaf Mas," jawab Kaina langsung.
"Maaf maaf! Isi otak kamu itu selalu di isi kata maaf terus dasar gadis tolol kalau aku tau kamu seperti ini sudah aku berikan kamu ke orang lain secara gratis! Atau bahkan aku bunuh sekalian biar sengsara kakak murahan kamu itu." tutur Brian sangat emosi.
Kaina lagi lagi melakukan kesalahan di hadapan Brian, setiap Kaina lakukan apapun pasti selalu salah di mata Brian.
"Maaf Mas, aku hanya ing___."
Ucapan tersebut di potong langsung oleh Brian.
"Udahlah kamu gak usah berbicara panjang lebar! Buat orang kesal aja!"
Brian langsung bangun dari duduk nya lalu pergi meninggalkan Kaina sendirian di meja makan. Suasana di dalam rumah tersebut mendadak sepi.
Kaina menangis di sana, ia capek selalu di salahkan, selalu di rendahkan dan selalu tidak di anggap oleh sang suami.
[Maaf maaf! Isi otak kamu itu selalu diisi kata maaf terus, dasar gadis tolol kalau aku tau kamu seperti ini sudah aku berikan kamu ke orang lain secara gratis! Atau bahkan aku bunuh sekalian biar sengsara kakak murahan kamu itu,]
Ucapan itu terus berputar di otak Kaina, rasa takut kini bersatu di otak nya. Kaina takut Brian benar-benar melakukan itu, enjual atau bahkan menghabisi nyawa nya, Kaina sesungguhnya tidak ingin menangis namun rasa sakit di hatinya berhasil menikam keras hingga menimbulkan luka dalam yang parah.
"Aku rasa aku gak akan kuat! Apa aku harus mundur dan meminta pisah terhadap Mas Brian? Aku capek sekali, aku ingin istirahat dari masalah yang tidak aku mengerti ini," ujar Kaina.
Brian kembali ke meja makan untuk mengambil HP milik nya yang ketinggalan di meja maka namun dia mendengar ucapan Kaina itu hingga selesai.
"Mau minta pisah?" tanya Brian.
Kaina langsung mengusap kasar air mata nya lalu menoleh ke arah Brian dengan berusaha tenang dan baik baik saja.
"Iya Mas ada apa?" tanya Kaina mengalihkan pembicaraan.
Brian tersenyum sinis ke arah Kaina.
"Kamu ingin pisah dari aku?" Tanya Brian ulang.
Kaina diam.
"Yakin? Namun jika aku tidak mau pisah bagaimana? Aku gak akan pernah ngelepas kamu sebelum aku benar-benar puas atau pun jika kamu dan Tita mati mungkin aku juga gak akan merasa puas sekali." Brian menatap kesal Kaina.
"Karena tujuan aku adalah untuk balas dendam saja terhadap Kakak sepupu kamu yang begitu sok cantik itu, sebelum kamu dan kakak kamu mati di genggaman aku sendiri aku gak akan pernah merasa puas!"
Kaina yang sedari tadi hanya diam sekarang ia memberanikan diri untuk menatap kedua bola mata Brian. Selama dua bulan pernikahan itu terjadi dia tidak pernah sekalipun berani menatap wajah Brian.
"Sudah berani menatap mata aku sekarang? Kenapa, kesal? Mau marah sama aku, ah?" tanya Brian.
"Aku capek Mas! Aku ingin berhenti dari permainan kamu ini, kamu boleh pukul aku hingga mati pun gapapa. Asal aku bisa tenang Mas meskipun di alam yang berbeda." sahut Kaina berusaha kuat untuk menahan air mata yang sudah membendung di mata nya.
Brian terkejut mendengar itu, Kaina yang lemah dan selalu mengalah tiba tiba berubah.
"Sedikit terkejut aku mendengar ucapan itu, gadis tolol yang dulu lemah kini berlagak menjadi seorang kesatria pemberani, hebat." Brian bertepuk tangan karena itu.
"Aku capek Ma! Selalu di rendahkan dan tidak pernah di anggap seperti ini! Aku mau menyerah Mas."
"Kau ingin menyerah? Tapi aku yang tidak ma, aku mau melihat kalian menderita terlebih dahulu lalu mati di genggaman tangan aku sendiri setelah itu baru aku akan melepas kamu pergi untuk selamanya."
"Jahat kamu Mas! Aku bukan binatang yang bisa kamu siksa seenaknya. Aku manusia Mas sama seperti dirimu tapi kenapa kamu tidak mempunyai rasa kasihan sedikitpun kepada aku! Ikhlaskan apa yang telah pergi, jika dia pergi berarti dia bukan milik kamu."
PLAK.
Tamparan kasar kembali menyambar pipi kanan Kaina membuatnya meringis kesakitan.
"Jangan mengajari aku! Kamu itu tolol, gak usah sok pintar. Lulusan SMP aja sok sok an mau mengajari aku, memalukan!" Bentak Brian.
Kaina memilih untuk diam, jika dia terus melawan yang ada Brian akan seenaknya berperilaku kasar kepada Kaina.
*
Cling...cling...
HP Rangga berbunyi menandakan ada sebuah pesan masuk dari seseorang.
Rangga yang tadi nya sedang tiduran di atas kasur langsung menoleh ke arah laci, tempat HP milik nya berada. Dia langsung bangun mengambil HPnya dan melihat pesan masuk tersebut dari siapa.
Boss kai.
Lo sudah yakin dengan permintaan lo itu? Gue sudah dapet informasi kakak lo tapi mungkin minggu depan sudah bisa gue habisin dia, bagaimana lo sudah yakin?
Pesan masuk tersebut adalah dari Kai sahabat nya yang menjabat sebagai boss para preman di ibukota.
"Gimana ya? Gue sih yakin banget sudah nyuruh kai untuk bunuh Brian, tapi masalahnya gue sekarang sudah kehilangan Oma apa iya gue harus kehilangan si bangsat itu, ya walaupun dia sangat brengsek tetep aja kakak kandung gue kan? Kalau gue kehilangan dia bisa bisa satu keluarga akan bersedih semuanya, ah bagaimana ini? Heh!"
Rangga mulai bingung, niatnya memang ingin menghabisi Brian namun dia juga bingung karena Brian adalah anak kesayangan keluarga Wilson bisa bisa semuanya akan bersedih karena itu.
"Bagaimana ya? Masak gue batalin aja, tapi nanti Brian akan menjadi jadi, sok berkuasa inilah itulah, hedeh bingung gue."
Rangga berfikir sejenak. Dia sedang mencari jalan agar tidak salah di akhir.
"Udahlah gue bilang ke Kai kalau gue masih ada di London nanti kalau sudah balik ke Indonesia baru gue atur lagi gimana kelanjutan nya."
Rangga langsung membalas pesan tersebut, ia bilang kepada Kai kalau dia masih berada di London dan mungkin akan mengurusi itu setelah balik ke Indonesia lagi.
kepergian Rangga tidak lain ada hubungan nya dengan Brian.
Kaina mencoba untuk tidur namun rasa gelisah membuat dirinya tidak bisa tertidur dengan tenang. Miring kanan lalu miring kiri mencoba agar dia bisa tertidur namun tetap saja tidak bisa. Kaina langsung bangun dari tidurnya, duduk di atas ranjang sambil lalu mengusap wajah nya.
"Hm, semoga saja tidak terjadi apapun terhadap Rangga di sana, semoga dia baik baik saja," ucap Kaina dengan penuh harapan.
"Hebat sekali keluarga ini, bisa keluar negeri dengan bahasa Inggris yang sudah sangat fasih dalam berbicara. Keluarga kaya, rasanya malu sekali aku berada di bagian keluarga ini juga meskipun tidak pernah di anggap oleh Mas Brian dan juga orang tuanya masih belum tau pernikahan ini. Menyedihkan sekali diriku" tutur nya.
Kaina diam beberapa detik. Dia menatap sekeliling nya, mewah dan terkesan indah. Rumah yang sebelumnya belum pernah ia miliki dan di rasakan nya.
"Andai pernikahan ini benar-benar saling mencintai satu sama lain mungkin pernikahan ini akan indah sekali namun itu hanya khayalan aku saja, heh!"
Kaina melihat ke arah sebelahnya, tempat yang pernah Brian tempati pada malam kemarin, senyuman timbul di bibirnya. Pelukan Brian di waktu itu masih berhasil membuat Kaina termabuk asmara. Dia mengusap usap lembut tempat itu dengan senyuman. Kaina ingin sekali merasakan pelukan itu lagi, kehangatan yang sangat luar biasa ia rasakan walaupun hanya sekejap saja.
"Aku sayang sama kamu Mas Brian, entah kenapa kamu masih belum bisa menganggap aku sebagai istri kamu. Aku sadar bahwa pernikahan kita hanya sebuah jalan untuk membalaskan dendam saja kepada Kak Tita."
Kaina tersenyum pasrah. Sebenarnya dia sangat lelah berada di balik permainan Brian itu, ingin sekali rasanya ia lari dari lingkaran hitam yang di buat oleh Brian lalu menjauh hingga dia tenang.
Kaina menyibak selimutnya lalu bangun, jam masih menunjukkan pukul tengah malam. Kaina berjalan keluar pintu untuk mengambil minuman terlebih dahulu baru setelah itu dia akan kembali tidur lagi.
Kaina menutup pintunya lalu lanjut berjalan ke arah dapur. Saat dia sudah berada di dapur, dia terkejut melihat lampu di dapur tiba tiba hidup dengan sendirinys lalu dia juga melihat Brian yang sepertinya sedang mencari sesuatu di dalam kulkas. Kaina bingung dengan itu, bisa bisanya Brian tidak tidur di jam ini bukannya besok Brian harus bekerja.
Kaina menghampiri Brian yang sibuk mencari sesuatu di dalam kulkas tersebut.
"Mas Brian cari sesuatu?" tanya Kaina pelan berusaha untuk tidak membuat Brian kaget dengan kehadirannya itu.
Brian langsungbmelihat ke arah sumber suara. "Kamu masih belum tidur?" tanyanya balik.
Kaina menggeleng-geleng kan kepala nya.
"Enggak aku gak bisa tidur Mas," jawab Kaina.
"Terus ngapain ke sini?" tanya Brian dengan nada tidak suka.
"Aku haus mas mau mengambil air minum. Kalau mas Brian ngapain malam begini di dapur?"
"Aku sedang mencari buah pisang tapi gak ada, apa kamu gak beli buah tadi ke pasar?" tanya Brian kesal.
"Aku beli kok Mas, ada di situ Mas, sini biar aku yang mencarinya."
Kaina mendekat ke arah Kulkas itu juga sementara Brian melangkah untuk menjauh dari sebelah Kaina. Isi di dalam kulkas itu sudah berantakan karena Brian mencarinya dengan mengacak acak semua isi di kulkas, jadinya Kaina juga sedikit kesusahan untuk mencari semua buah yang telah di tata rapi tadi termasuk buah pisang yang di cari Brian itu.
"Mana katanya beli!" Brian sudah sangat kesal.
"Tadi aku beli kok Mas! Tapi karena kamu telah mengacak acak semua isi kulkas ini jadinya berantakan dan sedikit kesusahan aku mencarinya," balas Kaina.
"Hedeh, bilang saja kalau kamu tadi gak beli pisang tapi malah pacaran di pinggir jalan." cibir Brian sambil melipat kedua tangan nya di depan dada dengan sangat angkuh nya.
Kaina sontak melihat ke arah Brian.
"Maksudnya Mas Brian apa? Aku bingung dan tidak mengerti sama sekali." Kaina bingung.
"Kamu tadi pagi pacaran kan di pinggir jalan sama laki laki? Sepertinya laki laki itu seumuran dengan kamu kalau bukan pacar kamu siapa lagi? Ngaku aja kamu!" Brian tiba-tiba tidak terima dengan itu.
"Siapa Mas? Aku gak tau, lagian aku gak pacaran dengan siapapun!" bantah Kaina langsung.
Brian menatap wajah Kaina. Dia menutup pintu kulkas tersebut dengan sangat kasar.
"Gak usah pura pura polos kamu, jangan kira aku bodoh bisa kamu bodohi seperti ini! Aku tau kamu itu punya pacar kan namun kamu umpetin dari aku, iya kan?!"
Kaina mengerutkan kedua alisnya, dia sangat terkejut dengan tuduhan itu padahal yang sebenarnya Kaina tidak pernah mempunyai hubungan dengan siapapun.
"Kamu jangan menuduh aku Mas! Aku gak pernah pacaran dengan siapapun dari waktu aku kecil hingga menikah dengan kamu, aku gak pernah merasakan seperti apa itu pacaran! Sumpah Mas!" Kaina membantah tuduhan itu dengan keras.
Brian tersenyum sinis kepada Kaina. "Masih gak mau mengaku juga kamu, ah? Sudah jelas aku melihat kamu tadi pagi di pinggir jalan. Kamu mengelus ngelus kepala si cowok itu iya kan?"
"Oh itu, iya itu ak___."
Ucapan itu langsung di comot seenaknya oleh Brian.
"Iya ngaku kan kamu sekarang! Tadi aja sok sok an gak mau mengaku, dasar munafik."
Kaina sudah menyangka kalau Brian akan salah paham dengan kejadian di tadi pagi itu. Dia sekarang bingung ingin menjelaskan dari mana sebab Brian sudah tidak mungkin percaya terhadap dirinya. Brian akan terus salah paham dengan kejadian itu.
[Aduh, Mas Brian salah paham dengan kejadian itu. Sebenarnya kan aku dan dia gak ada hubungan apapun bahkan kami tidak saling mengenal,] tutur Kaina di dalam hati.
"Mas dengerin aku dulu aku itu___."
"Stop! Sdah gak usah banyak berbicara atau pun menjelaskan hal apapun lagi, aku sudah tau dengan perempuan seperti kamu. Perempuan yang berpura pura polos namun hati nya busuk bahkan munafik sekali."
Brian terlihat marah sekali, Kaina yang melihat itu sangat terkejut sebenarnya sangat sulit sekali untuk Kaina terus diam dan mengalah namun mungkin jika dia melawan Brian tidak akan segan segan memukulnya.
"Kenapa? Kenapa menatap aku seperti itu? Gak suka, ah?"
"Aku capek Mas, capek sekali! Diam dan terus mengalah capek Mas. Aku juga manusia buka benda mati yang bisa kamu pukul dengan seenaknya, aku perempuan Mas." Kaina berusaha untuk menahan air mata yang sudah membendung di kedua mata nya.
"Aku sebenarnya capek dengan ini namun aku yakin kamu akan berubah Mas, kamu itu baik tetapi mungkin ah, sudahlah aku tidak ingin memaksa ini. Aku memang bukan siapa siapa di sini,
Sore ini Kaina sedang membereskan ruang tamu. Hujan masih belum berhenti sejak tadi pagi meskipun hujannya sudah tidak deras seperti tadi siang namun gerimis sore ini masih tetap bisa membasahi tanah.
Hari ini sangatlah malas sekali rasanya beraktifitas di luar karena hujan. Brian pun masih setia dari pagi hingga sore ini tidur di balik gulungan selimut, udara yang sejuk karena hujan semakin membuatnya terlelap tidur.
"Mas Brian dari tadi perasaan tidak keluar dari dalam kamarnya! Apa ada sesuatu dengannya? Atau bahkan dia sakit?" Kaina mulai khawatir terhadap Brian.
"Ah, sudahlah aku tidak peduli dengan dia, bukannya Mas Brian tidak suka dengan aku lalu kenapa aku harus mengkhawatirkan dia?" Kaina melanjutkan tugasnya lagi.
Berpura pura mungkin bukan keahlian Kaina namun jika di paksa dengan sangat berat hati dia akan berusaha walaupun tidak bisa sekalipun.
Setelah selesai mengelap meja tamu tersebut Kaina langsung bangun kemudian membalikkan badan nya untuk pergi ke arah dapur. Tanpa di sadari Brian sudah berdiri di hadapan nya dengan rambut nya yang berantakan dan baju yang tetap seperti tadi malam. Brian seharian ini tidak keluar kamar bahkan mandi pun tidak. Dia hanya tidur, tidur dan tidur di satu hari full.
Brian menggaruk kepala nya yang tiba tiba terasa gatal, is juga sesekali menguap.
"Ngapain masih berhenti di situ? Mau liat aku, ah? Memangnya aku pajangan bisa diliatin seenaknya begitu apalagi wajah kamu buat aku ingin muntah."
Ucapan Brian berhasil membuat Kaina menunduk dan langsung pergi ke arah Dapur dengan terburu buru.
"Menjijikkan! Bangun tidur bukannya di suguhi pemandangan indah, malah dapat wajah jelek gadis tolol itu! Iih, menjijikkan sekali!"
Brian juga pergi ke arah dapur untuk mengambil air minum. Mereka berdua sama sama diam, Kaina yang sibuk mencuci sayuran dan Brian yang meneguk air putih hingga rasa hausnya hilang.
[Tahan Kaina, kamu gak boleh berbicara dengannya cukup diam dan jangan berbicara sepatah kata pun. Oke Kaina? Aku yakin aku bisa,]j ujar Kaina di dalam hati nya.
Brian menaruh gelas tersebut di atas meja yang berada di hadapan nya lalu dia mencari sesuatu di dalam kulkas tersebut.
"Dimana buah pisangnya?" Tanya Brian sambil terus mencari di dalam kulkas itu.
Masalah buah pisang masih belum kelar selama Brian tetap mencari buah tersebut. Buah yang tadi malam berhasil membuat Kaina dan Brian beradu mulut.
Kaina tetap mencuci sayuran itu tanpa menjawab pertanyaan Brian.
"Aku tanya di mana buah pisangnya?!" Brian terus mengacak acak isi kulkas lagi.
Kaina mematikan kran air lalu dia membawa sayuran yang sudah dia cuci ke arah meja makan untuk di potong potong.
Brian yang merasa pertanyaan belum ada jawaban sontak menoleh ke arah Kaina yang berjalan menuju meja makan. Dia langsung menarik bahu Kaina.
"Kamu tuli, ah?! Aku bertanya di mana buah pisang nya? Bukannya di jawab malah diam seperti orang bisu, memalukan!" bentak Brian.
Kaina menatap wajah Brian sekilas lalu dia melanjutkan langkahnya kembali hingga membuat Brian kesal karena itu.
"BERHENTI!"
Langkah Kaina sontak berhenti, teriakan Brian berhasil membuat Kaina diam di tempat.
"Maksud kamu apa? Jangan membuat aku marah karena ini!" Brian mulai marah.
Kaina tidak menoleh sedikit pun ke arah Brian. Dia hanya tersenyum pasrah dengan apa yang akan terjadi terhadap dirinya, apa akan terjadi perlakuan kasar terhadap tubuhnya atau mungkin hanya adu mulut saja.
"Jangan mentang mentang di baikin kamu bakal seenaknya seperti ini! Kamu itu hanya pengganti pembantu di sini
bukan yang lain, kita menikah hanya untuk membalaskan dendam aku saja terhadap Tita! Jadi jangan berlagak layak nya tuan putri di rumah aku ini, mengerti?"
"Iya, aku mengerti itu," jawab Kaina cepat lalu dia melanjutkan langkahnya untuk ke arah meja makan.
"Tanya buah pisang bukannya di jawab malah diem! Aku sumpahin bisu sekalian!" gerutu Brian.
Brian langsung mengeluarkan semua isi di dalam kululkasnya hingga berserakan di lantai lalu menutup pintu kulkas dengan sangat kasar. Brian langsung pergi ke arah kamarnya lagi tanpa merasakan buah bisa satupun.
Kaina yang melihat itu hanya bisa memejamkan mata. Dia berusaha kuat dengan semuanya. Sakit hati yang dia rasakan seolah tidak kuat namun harus di paksa tegar oleh kenyataan. Air mata berjatuhan di kala itu, Kaina masih enggan untuk membuka mata nya.
Biarkan saja dia diam meresapi kejadian di hari hari yang ia lalui selama dua bulan berjalan ini. Bahagia? Mungkin itu hanya keinginannya saja namun tidak dengan kenyataannya. Kasar dan perlakuan tidak pantas selalu di dapat dari sang suami, tidak di anggap dan selalu di rendahkan sebagai alat balas dendam saja, bukankah itu sangat menyakitkan bagi seorang istri? Di nikahi hanya untuk membalas kan dendam.
*
Kaina memasak sambil nangis sesenggukan. Ucapan kasar Brian terus berputar dengan sangat jelas di kepala nya hingga membuat air mata itu tidak pernah terhenti.
[Sakit, sakit hati yang sangat mendalam yang aku rasakan saat ini Tuhan. Selalu salah di mata suamiku bahkan di anggap sebagai istrinya aku tidak pernah sekalipun. Aku capek, aku ingin pergi dari sini, aku mohon hilangkan lah rasa cinta ini terhadap dirinya agar aku bisa bebas seperti biasanya. Aku mohon Tuhan,]
Pinta Kaina di dalam hati, memohon agar penyiksaan ini secepatnya berakhir. Sudah cukup dia berlari mengejar cinta yang terus melangkah pergi untuk di kejar. Sudah cukup dia mengemis cinta yang telah membeku berabad abad, cukup! Cukup hilangkan saja rasa suka itu dari hati Kaina.
Air mata terus berjatuhan, sesekali Kaina mengusap air mata nya. Dia ingin bangkit agar tidak terlelap dalam rasa sakit itu namun dia gagal untuk itu, pertahanan nya langsung lumpuh mendadak ketika rasa sakit hatinya sudah membekap seluruh tubuh Kaina.
Kaina terduduk di lantai, dia terus menjadi menangis dengan sesenggukan. Rasa sakit itu berhasil membuat dia lemah tidak berdaya.
"Aku capek Mas! Ca...Capek Mas." ucap nya susah.
Kaina menutupi wajah nya dengan kedua tangannya. Tangisan itu sebagai pertanda bahwa Kaina sudah sangat lumpuh dan tidak bisa melakukan hal apapun lagi untuk menyembuhkan luka hati nya.
"Bangun!"
Kaina mengusap kasar air mata nya lalu menoleh ke arah belakang nya yang di sana sudah ada Brian, berdiri dengan melipat kedua tangan nya di depan dada.
"Bagaimana?" tanya Brian dengan senyuman sinis nya.
Kaina langsung bangun dari duduk nya, ia tidak menjawab pertanyaan singkat dan membingungkan dari Brian itu. Kaina memilih untuk mematikan kompor karena rendang buatannya sudah matang.
"Kamu memilih untuk mendiamkan aku, ah? Kamu sudah siap aku siksa jauh lebih kejam lagi, ah? JAWAB!"
Brian kesal malam ini, sejak tadi pagi Kaina mendiami Brian begitu saja. Brian memang tidak suka dengan itu makanya sejak tadi sore dia sudah mulai kesal dengan tingkah Kaina yang mendadak berubah.
[Maaf Mas, aku memilih ini agar kamu bisa tau di mana letak kesalahan kamu, di mana hati nurani kamu terhadap aku,]
Kaina sibuk menghidangkan rendang yang sudah matang ke dalam piring saji namun Brian yang sangat kesal karena Kaina terus diam dan tidak memperdulikan semua ucapan Brian. Berhasil membuat sang raja pemarah murka. Brian langsung mengambil piring itu dari tangan Kaina lalu melemparkan piring tersebut ke lantai.
BRAK!
Piring itu pecah hingga menjadi beberapa keping, berhasil membuat Kaina kaget dengan itu.
"Kamu gila ya Mas?!" bentak Kaina.
Brian langsung memandangi wajah Kaina. Dia menarik tangan kanan Kaina dan langsung menaruhnya ke dalam wajan yang masih berisi rendang panas dengan seenaknya.
"Ah, panas mas. Tangan aku kebakar!" Kaina mencoba untuk melepaskan tangan nya yang di pegang erat oleh tangan Brian.
Brian menggeleng geleng kan kepala nya. "Tidak, tidak akan aku lepaskan sebelum tanganmu luka bahkan mengelupas sekalipun." Brian tersenyum sinis.
"KAMU SANGAT JAHAT MAS BRIAN! LEPASKAN TANGAN AKU MAS, AKU GAK KUAT TANGAN AKU SANGAT PANAS SEKALI!" teriaknya.
"Lepasin Mas." ucap nya dengan air mata mengalir.
Panas di tangan Kaina semakin di rasakan olehnya. Dia sudah mencoba untuk melepaskan tangan Brian tersebut namun sayang sekali kekuatan tangan Brian sangat kuat.
"Mungkin setengah jam lagi karena aku masih belum puas dengan ini." ucap Brian dengan entengnya.
"KAMU GILA MAS! LEPASIN TANGAN AKU!!"
Nafas Kaina ngos ngosan. Dia berteriak untuk meminta di lepaskan namun Brian seakan akan tuli dengan teriakan tersebut. Tidak ada rasa kasihan sedikit pun Brian terhadap Kaina.
"Sepertinya tangan kanan kamu panas ya? Bagaimana kalau aku antar ke kamar mandi untuk membasuh tangan kanan mu dengan air? Mungkin akan bisa menghilangkan rasa panas itu, ayo!" ajak Brian dengan nada di buat lembut olehnya lalu dia menarik tubuh Kaina secara paksa ke arah kamar mandi di kamar tamu yang kosong.
"Mas aku gak mau, lepasin aku! AKU GAK MAU MAS BRIAN!!" Kaina meronta ronta agar tidak di bawa ke dalam kamar mandi.
"Ikut!" bentak Brian.
Mereka berdua masuk ke dalam kamar tamu tersebut lalu Brian mendorong tubuh Kaina untuk masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam sana.
"Mas aku mohon mas Brian jangan siksa aku lagi, aku capek Mas," pinta Kaina dengan berurai air mata.
Brian hanya tersenyum mendengar itu.
"Aku mohon Mas! Jika kamu tidak mau dengan aku tolon bunuh aku saja, aku ikhlas! Aku gak mampu di siksa seperti ini aku istrimu Mas bukan babu kamu." tutur Kaina dengan terus menangis.
Brian langsung mendorong tubuh Kaina agar masuk ke dalam kamar mandi lalu menyiramnya dengan shower.
"Rasakan itu, ini mungkin permainan yang sangat biasa saja tapi bersiaplah untuk permainan yang lebih menegangkan lagi di beberapa hari kedepan! Jadi persiapkan mental mu, mengerti?"
Kaina bangun. "Aku gak mau di siksa terus seperti ini Mas!! " bentak nya.
Brian langsung mengarahkan shower itu ke arah wajah Kaina hingga membuat Kaina kesusahan untuk berbicara.
"Dan aku masih belum puas dengan ini saja jadi terserah aku lah, lagian kamu itu bukan siapa siapa di sini dan jangan mengatur aku!"
Rasa kesal semakin memberontak di tubuh Kaina, ingin sekali dia kabur dari rumah tersebut. Mungkin dengan cara menghilang dari sini bisa membuat dirinya tenang. Kaina mencari celah untuk keluar dari kamar tersebut.
Brian melemparkan shower itu sembarangan. "Kenapa menatap aku seperti itu?!" tanya nya kesal.
Kaina menggeleng kan kepala.
"Malam ini kamu tidur disini!"
"Aku gak mau Mas." jawab Kaina cepat.
"Dan aku tidak peduli itu." tegasnya.
[Aku harus bisa mendorong mas Brian agar tidak menghalangi pintu itu lalu aku bisa kabur dari sini, iya aku harus mendorong kuat tubuh mas Brian.'
"Nikmatilah kamar baru kamu ini." ledek Brian.
Kaina langsung berlari ke arah pintu dan mendorong tubuh Brian dengan sekuat tenaganya hingga membuat tubuh Brian sedikit terhempas keluar. Kaina berlari ke arah luar kamar namun Brian berhasil menarik bahu Kiana.
"BERHENTI! JANGAN SEKALIPUN BERNIATAN KABUR DARI AKU!!" Brian marah besar.
Kaina ketakutan mendengar teriakan murka Brian. Cengkeraman tangan di bahunya terasa menyakitkan, tangisan pun tidak pernah terhenti.
"Maaf Mas, aku ingin pergi dari rumah ini jadi lepaskanlah aku, aku ingin pergi." ucap Kaina.
Brian memaksa Kaina untuk menghadap dirinya namun Kaina tidak mau, dia terus diam di posisi meskipun Brian berusaha membalikkan tubuh nya. Sakit sudah jelas di rasakan tubuh nya, cengkeraman tangan Brian berhasil memberikan warna merah di lengan Kaina.
"Jangan membuat aku marah! Jika kamu tidak mau aku siksa bagaikan binatang!"
Ancaman Brian berhasil membuat Kaina menoleh dengan sendiri nya ke arah Brian.
Brian langsung tersenyum menang. Dia menarik lengan Kaina ke arah ranjang dan mendorong tubuh Kaina hingga jatuh tepat di atas ranjang.
"Mungkin dengan sedikit sentuhan dan sedikit percikan sperma permainan ini akan seru dan indah di akhir," ucap Brian sambil membuka baju milik nya.
perlakukan sebagai seorang Raja oleh para anak buahnya.
Kai tiba-tiba tertawa dengan itu. Dia sebenarnya bingung dengan dunia ini bisa bisanya dia di perlakukan seperti itu. Layaknya Raja yang di takuti oleh semua rakyat nya.
"Gue bingung sama semuanya, kenapa bisa gue ditakutin oleh semua anak buah gue? Padahal gue sama dengan mereka, sama sama manusia biasa. Heh, membingungkan." Kai meneguk isi gelas kecil itu.
"Bos ada di dalam?" tanya seorang laki laki di balik pintu.
Kai tetap pada posisinya, dia menghisap putung rokok tersebut lalu membuangnya sembarangan di atas meja kaca.
"Gue ingin mengantarkan setoran hari ini bos."
"Masuk," jawab Kai singkat.
Orang itu membuka pintu ruangan Kai kemudian ia masuk ke dalam.
"Ini setoran hari ini bos lumayan lah hasilnya," ucap orang tersebut.
Terlihat seorang laki laki berumur sama dengan Kai mempunyai paras tampan pula, ia menghadap Kai untuk mengantarkan setoran hari ini. Dia bernama Roy teman satu sekolah dengan Rangga.
Kai melihat wajah Roy, pipi kanan nya terdapat luka memar karena pukulan.
"Siapa yang memukul pipi kanan lo?" tanya Kai.
Rasa penasaran semakin membuat Kai tidak sabar untuk melihat bentuk tubuh orang yang telah memukul pipi kanan Roy tersebut. Roy langsung menutupi pipi kanan nya dengan sebelah tangan nya. Dia tersenyum ke arah Kai lalu menggelengkan kepala memberitahu bahwa Roy baik baik saja.
"Jangan bohongin gue! Gue akan menghajar lo abis abisan jika lo sudah berani bohongin gue." ancam Kai.
Roy langsung menunduk takut. Sebenarnya dia tidak mau mengatakan apa yang terjadi kepada Kai. Sebab dia tau bahwa Kai akan marah besar mungkin akan membunuh orang tersebut.
"Jawab siapa orang itu?"
"Alex bos," jawab Roy dengan suara kecil.
Kai langsung meremas kasar gelas kecil yang berada di tangan nya itu.
"Alex lagi alex lagi. Gue bingung sama itu anak, bukannya langsung datangin gue malah ngehajar lo, kemarin aja anak buah gue yang lain! Ternyata Alex ini pecundang sekali." Kai menaruh gelas kecil itu di atas meja.
"Itu uangnya untuk lo, obati itu luka dan istirahat. Gue liburin lo seminggu, gue tau kalau musuh gue ini adalah kakak tiri lo tapi tenang saja gue akan buat dia jera untuk selama lamanya lo tenang aja, oke."
Kai bangun dari duduktnya lalu menghampiri Roy. Dia menatap wajah Roy dengan sangat dekat melihat memar di pipi Roy dengan sangat teliti nya.
[Alexander winata, sudah 2 tahun gue tidak menghajar lo lagi! Sudah 2 tahun pula gue tidak memecahkan kepala lo lagi! Tapi tenang Alex, lo akan tersenyum dengan cara gue ini nanti. Sudah cukup para anak buah gue yang lo hajar. Sekarang giliran lo yang merasakan pukulan gue! Semoga lo suka nanti,] batin Kai.
"Yasudah pergi! Aku sudah tau bagaimana luka memar di pipi kanan lo itu akan aku balas kan kembali terhadap orang pecundang itu."
"Jangan bos!" bantah Roy cepat.
"Kenapa? Lo ngelarang gue karena lo kasihan sama kakak tiri lo yang sudah mukul pipi lo hingga memar, iya?" tanya Kai.
Roy menggeleng geleng kan kepalanya.
"Lalu kenapa? Lo takut di musuhi keluarga lo? Atau karena apa?"
"Gue gak mau bos ngehajar dia, dia itu licik sekali bahkan gue takut bos masuk ke perangkap dia hingga bos di hukum polisi."
Kai tertawa dengan itu, bisa-bisa Roy merendahkan skill dewanya dalam bertarung. Jika Alex di kata licik sekali mungkin Kai jauh lebih licik lagi bukan?
"Lo ngerendahin gue? Lo kira gue gak bisa melawan Alex? Sehebat apa sih dia?" tanya Kai.
Sebenarnya Kai hanya mengetes Roy saja, dia berpura-pura tidak mengenal Alex padahal Kai sudah pernah mempunyai masalah dengan Alex di 2 tahun yang lalu, di mana Kai tau rasanya bagaimana permainan licik yang di mainkan Alex terhadap dirinya.
"Enggak bos, gue tau bos hebat bisa ngalahin musuh dengan mudah, namun gue sudah tau sendiri permainan Alex itu seperti apa untuk mematikan si musuh nya! Jadi gue hanya takut aja bos masuk dalam permainan itu." Tutur Roy.
Kai tertawa.
"Lah kok ketawa bos?"
Roy mulai bingung dengan Kai yang tiba-tiba tertawa mendengar penuturannya tadi.
"Gue udah jauh lebih kenal Alex sebelum lo kenal dia, gue udah kenal lebih dulu dia dari kecil. Dia emang begitu namun gue juga tau cara melawannya! Asal lo tau kepala dia pernah bocor kalah duel sama gue, lo belum tau itu?" Kai tersenyum sinis.
*
Brian mencoba untuk membuka mata nya. Dia duduk sambil sesekali menguap, bekas cakaran di bahunya membuat dia meringis merasakan perih.
"Bahu aku kenapa rasanya jadi perih begini?" ucap Brian sambil meraba bahunya.
"Lah kok aku gak pakai baju." Brian baru menyadari bahwa tubuh nya telanjang.
Brian melihat lantai sudah berserakan baju milik nya dan robekan baju milik Kaina. Brian langsung menoleh ke arah sebelah nya, ia langsung membulatkan mata karena saking terkejut melihat Kaina tertidur di sebelahnya dengan selimut menutupi tubuh telanjang Kaina.
"Apa yang aku lakukan? Oh tidak kenapa harus main begini, kalau begini kan bisa menghancurkan rencana aku yang di awal!" Brian mengacak-acak rambutnya kesal.
"Kenapa jadi begini?" gerutunya.
Brian mulai bingung. Dia langsung memegangi kepala nya.
[Kenapa bisa jadi seperti ini? Kalau begini aku yang bingung cari rencana baru, Lagian aku melakukan ini gak mikir mikir lagi malah main tancep kan sembarangan,] ucap Brian dalam hati nya.
"Masak aku....Ah, bodoamat lah yang penting aku tetep pada tujuan aku di awal! Aku gak boleh terpengaruh oleh apapun dan apa yang terjadi ini hanya sebagai pemanasan untuk permainan yang akan berlanjut hingga balas dendam aku tercapai! Udah itu aja." pekik Brian.
Brian menoleh ke arah Kaina. Semua kejadian tadi malam teringat jelas di kepala nya. Teriakan dan tangisan Kaina masih membekas di pikiran Brian.
"Tidak tidak tidak!" Brian frustasi.
"Bagaimana bisa aku melakukan itu? Bukannya aku sudah bilang kalau tidak akan menyentuh tubuh nya lalu ini semua apa? Ayolah Tuhan berpihak lah kepada aku. Ini bukan takdir yang baik untuk aku, aku tidak mau terus terusan bersama dengan gadis tolol seperti dia! Tolong rubah takdir aku Tuhan. Jika harus dengan gadis tolol ini, Brian tidak mau Tuhan."
*
"Bagaimana jika Mama sama Ayah balik ke Indonesia dan menetap di sana bersama Rangga dan Brian, mengurusi kami berdua?" kata Rangga dengan sangat antusias sekali.
Sementara Ayah dan Mama nya hanya bisa saling melihat satu sama lain, bukan karena mereka tidak ingin balik ke Indonesia melainkan mereka berdua sudah mempunyai tanggung jawab di rumah Oma itu.
"Bagaimana? Rangga sudah menduga bahwa kalian tidak akan mau, iya kan? Kalian akan memberikan alasan yang begini begitu! Memangnya Brian sama Rangga bukan anak kandung kalian? Sampai sampai kalian kejam membiarkan kami berdua, berbeda negara dengan kalian berdua." Rangga langsung memperlihatkan ekspresi wajah tidak suka.
"Not so Rangga, but we have a big responsibility in this house. So maybe we won't be back in Indonesia for a long time," jawab sang Ayah dengan cepat.
Rangga tersenyum sinis mendengar itu, rasa curiga kian membesar di pikiran nya.
[Gue yakin sekali mereka tidak akan mau jika harus balik ke Indonesia bersama aku. Awas aja kalau mereka benar-benar tidak mau, gue akan membabi buta disini lihat saja!] batin Rangga.
"Rangga bukan karena Mama sama Ayah ninggalin kamu dan Kak Brian di Indonesia bukan berarti kami tidak menyanyi kalian berdua serta Mama tidak suka kalau melihat Rangga tiba tiba begini! Tidak seperti bisanya," tutur Nyonya Wilson.
Rangga mengaduk sarapan paginya dengan kesal.
"Rangga dengarkan Ayah, ayah akan balik ke Indonesia sama Mama tapi____."
Ucapan itu dipotong langsung oleh Rangga.
"Tapi apa, ah? Berhentilah membohongi Rangga! Rangga sangat benci jika harus di tipu terus terusan! Gue bingung sama orang tua gue sendiri, sebenarnya mereka itu sayang apa enggak sih sama anak anaknya?!"
"Rangga dengarkan Ayah kamu dulu." pinta Nyonya Wilson.
"No, I'm sick of hearing excuses from you guys. I better go back to Indonesia! do you want to come back or not I don't care and even I will be very angry if you don't come back to Indonesia with me." tegasnya.
Nyonya Wilson langsung bangun dari duduk nya. Dia ber
kamu sayang!" pinta Ervan dengan begitu lembut.
Tita langsung memeluk tubuh Ervan dari pinggir, dia menangis.
"Cerita kepadaku sayang, aku janji akan membantu kamu," ucap nya sambil mengelus lembut punggung Tita dari samping.
"Aku rindu dengan Kaina Mas," ucap nya.
"Nanti kita ke sana kita akan bertemu dengan adik sepupu kamu itu."
Tita menggelengkan kepala.
"Lah kenapa? Katanya tadi rindu terhadap Kaina sekarang kok gak mau padahal kan mau bertemu." Ervan bingung.
"Aku gak boleh bertemu dengannya lagi! Suaminya melarang aku untuk bertemu dengan Kaina lagi. Aku kasihan Mas, suaminya itu menyiksa Kaina di sana, Kaina dikurung di sana Mas!" Tangisan itu semakin deras mengaliri pipi Tita.
Ervan menyudahi pelukan itu. Dia terkejut mendengar bahwa Kaina sudah menikah di umur yang masih terbilang muda.
"Kaina menikah? Kapan? Dia menikah dengan siapa sayang? Bukannya Kaina masih muda?" tanya Ervan dengan antusias sekali.
Tita menggelengkan kepala. "Ibu tirinya menikahkan Kaina lalu meminta imbalan uang yang begitu besar." ucap nya.
"Oh tidak mengapa jadi begitu? Kasihan sekali dengan Kaina! Sekarang keadaan Kaina bagaimana?"
"Dia di siksa Mas!" jawab Tita sambil terus menangis.
"Kurang ajar sekali laki laki itu! Siapa dia? Apa kamu mengenalnya sayang?" Ervan mulai penasaran.
Tita menganggukkan kepala.
"Siapa nama orang itu? Apa dia seorang pengusaha? Atau seorang dokter? Atau bahkan yang lainnya?"
"Brian Wilson." ujar Tita
Nama itu berhasil membuat ekspresi wajah Ervan berubah tidak suka mendengar nama itu di sebut.
"Mantan kekasih kamu? Dia yang menikahi Kaina?" tanya Ervan meyakinkan lagi.
"Iya. Dia adalah mantan kekasih aku dan dia adalah suami Kaina saat ini!" tutur Tita.
Ervan langsung bangun dari duduk nya namun Tita berhasil menahan lengan Ervan.
"Mau ke mana?" tanya Tita.
"Mau ke kamar dan ingat jangan pernah lagi bertemu dengan Kaina! Aku melarang kamu dengan alasan apapun, titik!" tegasnya.
"Tapi Mas Kaina kan adik sepupu aku." sangkal Tita.
"Sekali aku bilang tidak boleh berarti tidak boleh!" bentak Ervan lalu melepaskan tangan Tita dari lengannya kemudian dia pergi.
"Mas, mas Ervan tolong jangan seperti ini Mas! MAS ERVAN, KAINA ADIK SEPUPU AKU KAN MAS!!" teriak Tita.
Dia menangis sejadi jadinya. Tita tidak mau jika harus di larang larang begitu saja untuk bertemu dengan adik sepupunya. Rindu sudah pasti bahkan rasa kasihan ingin menolong Kaina masih memaksa diri Tita untuk pergi menemui Kaina namun larangan suaminya semakin membuat dia tidak berdaya.
[Kaina maafin aku, aku tidak bisa melakukan apapun, aku juga sama seperti di posisi kamu,] batin Tita.
*
Brian langsung memarkirkan mobilnya dengan sembarangan di depan rumah nya. Dia turun lalu membukakan pintu sebelahnya, turun seorang perempuan muda berumur sama dengan Brian, dia adalah Lamela kekasih Brian.
"Ayo sayang." ajak Brian.
Mereka berdua berjalan beriringan masuk ke dalam rumah sementara Kaina berada di dalam sedang menyapu ruang tengah, ia kaget melihat Brian datang bersama dengan Lamela yang di peluk erat dari samping oleh Brian.
Kaina memilih untuk berpura pura tidak melihat itu meskipun Brian sudah melihat Kaina tadi.
Lamela melihat Kaina sedang menyapu tanpa mempedulikan kedatangan mereka berdua, ia langsung memperlihatkan wajah sinis nya.
"Eh kamu, kamu gak lihat apa kami datang bukannya berhenti sebentar nyapu malah terus menyapu! Nanti kalau kulit aku kena debu bagaimana? Kamu mau biayain aku untuk periksa ke dokter, ah?!" tutur Lamela sinis.
"Maaf Mbak! Saya gak mau berniat begitu." jawab Kaina langsung.
"Idih, aku gak suka di panggil Mbak! Memangnya aku pejual sayur di panggil Mbak begitu?! Sudah sana pergi jauh jauh dari aku!" pintanya.
Kaina mengangguk. "Iya Non," ucap nya.
"Berhenti!" pinta Brian cepat.
"Kenapa di suruh berhenti?" tanya Lamela.
"Kamu tunggu aku di kamar nanti aku akan menyusul. Aku masih ingin memberikan pelajaran untuk gadis tolol ini!" tutur Brian menatap Kaina yang masih tetap menundukkan kepala nya.
Lamela langsung tersenyum senang.
"Baiklah, aku menunggu kamu di kamar ya sayang? Kamu hukum saja pembantu ini jika perlu bunuh saja."
Kaina semakin menunduk takut.
"Hukuman yang sangat luar biasa yang akan dia dapat hari ini." sahut Brian.
Lamela mencium pipi kanan Brian. "Aku ke kamar kamu ya sayang nanti kamu menyusul. Babay." ucap nya lalu pergi ke kamar Brian di lantai atas.
"Rasakan hukuman itu." kata Lamela saat berpapasan dengan Kaina.
Setelah Lamela sudah sampai di lantai atas. Brian langsung menarik lengan kanan Kaina dengan sangat keras hingga membuat Kaina meringis kesakitan.
"Sakit Mas, tolong lepasin! Sudah cukup aku di siksa terus oleh mu." ujar Kaina memohon.
"Aku belum puas sebelum kamu dan Tita benar benar musnah dari muka bumi ini!" ucap nya terus menarik Kaina ke halaman belakang rumah.
"Mas aku mau di bawa kemana Mas? Mas, Mas Brian!" tanya Kaina.
Brian diam dan terus berjalan.
"Mas tolong berhenti! Aku sakit Mas jika harus berjalan dengan sangat cepat seperti ini apalagi kamu menarik aku begini!" sambung nya.
Brian langsung menyadari bahwa tadi malam Kaina bersetubuh dengannya, ia langsung berhenti tepat di luar pintu halaman belakang rumah Brian.
"Lepasin aku Mas." Kaina mencoba untuk melepaskan tangan Brian dari lengan kanan nya namun Brian sudah lebih dulu melepaskan lengan Kaina.
Kaina langsung memegangi lengannya yang sudah memerah, ia mengusap usap lembut agar warna merah itu hilang dari kulit Sawo matangnya.
Brian juga tiba tiba mendadak bingung. Dia juga tidak tau kenapa bisa membawa Kaina ke halaman belakang rumah nya. Awalnya dia memang ingin memberikan Kaina hukuman namun dia lupa hukuman apa.
"Mas Brian ngapain bawa aku ke sini?" tanya Kaina.
Brian diam. Dia mengingat lagi hukuman untuk Kaina itu. Bunga berwarna warni terletak dengan rapi di sana. Pemandangan membuat orang orang yang melihat nya terasa rileks dan tenang. Indah namun sedikit kotor oleh daun daun kering yang berjatuhan. Taman tersebut sudah beberapa minggu tidak terawat setelah para pembantu di pecat oleh Brian.
Senyuman timbul di bibir Kaina. Dia senang melihat bunga bunga itu kini sudah mulai mekar lagi. Kaina berjalan pelan mendekati bunga itu, dia menahan rasa perih di daerah kewanitaan nya.
Brian yang melihat itu sontak melupakan hukuman nya untuk Kaina. Dia menatap cara berjalan Kaina yang tidak seperti biasanya.
[Aku masih bingung, kenapa bisa aku menyiksa gadis polos seperti kamu Kaina,]
*
Malam ini Brian dan Lamela tidak keluar dari dalam kamar atas padahal sekarang jam makan malam. Masakan Kaina pun sudah matang dan tertata rapi di atas meja makan.
"Apa mereka masih sedang bersiap siap? Sudahlah aku pergi ke kamar dulu nanti aku balik lagi kesini," ujarnya lalu berjalan menuju kamar milik nya dengan sangat berhati hati.
Brian yang tadinya ingin menuruni para anak tangga sontak terhenti. Dia memandangi Kaina dari lantai atas. Langkah demi langkah Kaina terus di pandang oleh Brian.
"Tunggu!" ucap Brian.
Langka kaki Kaina sontak terhenti, ia langsung melihat ke arah lantai atas melihat Brian yang sudah berjalan menuruni para anak tangga.
"Ada apa Mas?" tanya Kaina setelah Brian tiba di bawah.
"Aku mau makan." Brian langsung berjalan menuju meja makan lalu di ikuti oleh Kaina di belakang.
Sampai di meja makan Brian langsung duduk. Kaina ingin menaruh nasi di piring Brian namun langsung di tolak oleh Brian.
"Gak usah, aku bisa sendiri." kata Brian.
Tidak pernah sekalipun Kaina merasakan menaruh nasi di piring makan Brian layaknya seorang istri kepada sang suami tercinta. Kaina hanya bisa menuangkan air minum ke gelas milik Brian. Setelah itu dia tidak akan melakukan apa apa lagi dan itu berlanjut hingga seterusnya.
"Ke mana Non Lamela Mas?" tanya Kaina yang tidak mau pergi berdiri di samping Brian.
"Dia ada di kamar, dia kelelahan." jawab nya.
Setelah itu Kaina langsung diam. Ia tidak menanyakan hal hal yang berbau sensitif tentang Lamela kepada Brian sebab Kaina tau bahwa Brian akan memarahi dirinya karena terus bertanya.
"Nanti kamu bawakan makan malam Lamela ke kamar! Takutnya dia bangun dan lapar," tutur Brian.
Kaina mengangguk paham. "Iya Mas, nanti aku bawa kesana makanan milik Non Lamela." ucap nya.
"Mas, apa Lamela ingin menginap di rumah ini juga?" tanya Kaina dengan suara pelan agar tidak membuat Brian marah.
"Kenapa? Kenapa jika kekasih aku menginap di sini? Apa kamu tidak suka melihat kekasih aku?" Curiga Brian.
Kaina langsung menggelengkan kepala nya.
"Tidak Mas, aku hanya bertanya bukan untuk bermaksud apapun. Tidak masalah jika kekasih Mas Brian ingin menginap di sini, aku gak masalah kok."
Kaina tersenyum ke arah Brian namun Brian membuang muka ke arah lain.
"Yasudah kamu siapkan makanan untuk Lamela nanti kamu ikut aku ke atas. Inget, kamu ikut itu hanya untuk mengantarkan makanan saja setelah itu langsung pergi."
"Iya Mas, aku mengerti," jawab nya.
Kaina langsung mengambil nasi dan lauk pauk ke atas piring makan untuk Lamela nantinya. Dia mengambil nampan lalu menaruh piring makan untuk Lamela dan segelas air minum ke atas nampan tersebut.
Brian menaruh garpu dan sendok di atas piring makan nya yang masih bersisa lumayan banyak kemudian dia meminum air minumnya lalu bangun.
"Ayo." ajak nya.
"Ah, sudah selesai Mas?" talanya Kaina bingung.
"Kalau aku sudah mengajak kamu berarti boleh gimana sih! Udahlah Ayo."
"Oh iya satu lagi, bersihkan kamar aku sekalian." sambung nya.
"Iya Mas," balas Kaina.
Setelah itu mereka berjalan menuju lantai atas, Brian jalan lebih dulu di depan Kaina sedangkan Kaina berjalan dengan sangat berhati hati di belakang Brian.
Brian menoleh ke arah Kaina yang berjalan sangat lambat di belakang nya. Dia menghela nafas kesal lalu berjalan ke arah Kaina dan mengambil alih nampan tersebut.
"Loh kok di ambil Mas?" tanya Kaina.
"Kamu itu jalannya lelet! Seperti orang baru tau jalan, bukan nya cepat malah lambat kayak siput!" cibir Brian.
"Maaf Mas. Tapi Ak____."
Ucapan itu langsung di potong oleh Brian seenaknya.
"Tapi apa? Udahlah jangan banyak bicara aku malas mendengarnya! Ayo cepat jangan lelet kamu harus bersihkan kamar aku."
"Iya Mas."
Mereka lanjut berjalan lagi menuju lantai atas. Setibanya mereka di sana Kaina langsung terkejut melihat ruangan yang tidak pernah ia ketahui seperti apa di dalamnya dan sekarang dia baru tau isi ruangan tersebut.
[Ruangan ini sangat berantakan namun ini adalah kamar suami aku. Kamar masa kecilnya hingga dia dewasa seperti sekarang, warna kamar ini benar benar melambangkan keangkuhannya dan sifatnya yang dingin,] batin Kaina.
Dia melihat ke sekeliling ruangan itu dengan teliti. Senyuman dan rasa takjub hadir di kala itu namun ruangan tersebut terlihat sangat berantakan dan kotor tetapi Kaina seolah olah senang bisa melihat kamar tersebut.
Brian bingung melihat Kaina tiba tiba tersenyum senyum sendiri memandangi sekeliling kamar milik nya.
"Ini orang kesambet apa ya? Kamar aku kan sudah hampir satu bulan tidak di bersihkan, kan bisa aja ada makhluk halusnya." gumam nya sambil menaruh nampan yang dia bawa ke atas meja di kamar itu.
"Tapi enggak deh, apaan percaya yang begituan mungkin ini orang gila kan bisa jadi? Udahlah Brian jangan mikir macem macem." sambung nya.
"Mas," Sapa Kaina berhasil membuat Brian kaget.
"Eh maaf mas, kamu kaget ya? Maaf!" ujar Kaina.
"Maaf maaf, kamu ngapain senyum senyum begitu, ah? Seperti orang gila saja. Tugas kamu ke sini untuk bersihkan kamar aku kenapa malah diam dan senyum senyum sendiri?!" bentak Brian.
"Iya Mas,"
Kaina langsung bergegas untuk membersihkan kamar tersebut namun dia merasa tidak nyaman karena Lamela masih tertidur di atas ranjang dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Kaina takut membuat Lamela terganggu hingga dia terbangun dari tidur nya.
"Tapi Mas, Non Lamela masih tertidur aku takut menganggu tidurnya nanti dia kebangun." tutur nya dengan suara pelan.
"Bersihkan saja jangan banyak bicara lagian dia tidak akan kebangun kalau kamu tidak banyak bicara, udah sana cepat lakukan tugas kamu!" Tegas nya.
Kaina lanjut membersihkan kamar tersebut dari menata pakaian Brian yang berjatuhan di lantai ke lemari. Dia memungut kaos kaki Brian yang berserakan di sana sini. Baju kotor yang salah tempat bahkan celana dalam Brian juga. Sedangkan Brian hanya duduk santai di atas sofa di dalam kamar tersebut sambil lalu memerhatikan Kaina yang sedang bersih bersih bahkan Lamela pun masih enggan untuk bangun, dia dalam posisi enak tidur hingga tidak merasa terganggu sedikitpun.
"Tau gini aku suruh dia saja dari kemarin kemarin lagian aku saja yang sok sok-an ngelarang dia ke kamar ini jadinya kamar aku seperti kandang kambing seperti ini kan." Gumam Brian.
"Mas Brian bisa bantu aku gak?" tanya Kaina.
"Apa?" Ekspresi wajah Brian berubah tidak enak.
"Bantu aku ambilkan sebelah kaos kaki kamu yang ada di bawah ranjang, aku takut menganggu tidur Non Lamela, bisa kan Mas?"
Brian langsung bangun lalu mengambil sebelah kaos kaki tersebut, sementara Kaina sudah mulai melipat baju baju yang berjatuhan tadi dan menata kembali di dalam lemari.
Tangan Brian sudah dapat sebelah kaos kaki milik nya namun dia juga merasakan ada benda kecil dan keras ada di dekat kaos kaki itu lalu Brian mengambil nya bersamaan.
"Ini apa?" tanyanya sambil lalu menarik itu hingga terlihat.
Ternyata benda kecil dan keras itu adalah cincin pernikahan nya dengan Kaina. Cincin yang hanya sekali dia gunakan selama pernikahan berlangsung saja sedangkan Kaina tidak pernah melepaskan cincin itu di jari manisnya meskipun Brian tidak terlihat sekalipun memakai cincin pernikahan itu juga.
"Aku kira apa ternyata cincin sial ini!" ucap Brian lalu menaruh kembali cincin itu di bawah ranjang.
"Ini kaos kakinya." Brian langsung melemparkan sebelah kaos kaki itu ke arah Kaina kemudian dia pergi ke kamar mandi.
"Tunggu sebentar lagi palingan gadis tolol itu masih mandi, jadi tunggu saja ya sayang," ucap Brian fokus membalas pesan dari salah satu teman kerjanya.
Lamela mendengus kesal. Dia berhenti bergelanyut di tangan Brian dan melipat kedua tangan nya di depan dada.
"Aku kesal kepadamu sayang!" ucap nya.
Brian langsung menoleh ke arah sebelahnya. Dia berhenti menatap layar HPnya sebentar.
"Kenapa kesal begitu? Aku kan masih balas pesan dari beberapa perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan Ayah Wilson sayang." tutur nya lembut.
"Aku kesal karena kamu tidak memperdulikan aku, aku lapar dan kamu malah fokus kerja kerja kerja terus, bukannya kamu sudah berjanji padaku kemarin? Bahwa kamu tidak akan mengacuhkan aku dan akan setiap detik ada di saat aku butuh, gimana sih?"
"Iya aku minta maaf sayang. Maaf ya? Aku janji aku gak akan begitu lagi dan kamu lapar kan? Bagaimana kalau kita pesan makanan saja hari ini? Aku yang bayarin semua makanannya, kamu boleh pilih makanan apapun yang kamu sukai, bagaimana?" Brian menawarkan jalan keluar agar tidak ada adu mulut yang terjadi.
"Aku gak mau." jawab Lamela singkat.
"Lah kok begitu? Kamu katanya lapar?" Brian menaruh HPnya di atas meja.
"Aku sudah menaruh HP aku, masih kurang? Apa aku harus memarahi gadis tolol itu karena dia kita kelaparan pagi ini, iya kan?" sambung nya.
"Iya kamu harus memarahinya sayang, harus! Intinya dia harus di hukum apapun alasannya karena gara gara dia aku jadi kelaparan pagi ini." Hasut Lamela.
Brian menganggukkan kepala lalu bangun. "Biar kamu tidak marah lagi, aku marahin dia biar gadis tolol itu tidak seenaknya di rumah ini. Bisa bisanya dia tidur tidak ingat waktu seperti ini!" ujar nya.
"Iya harus sayang." kata Lamela menyemangati.
"Baiklah aku ke kamar nya dulu, aku akan marahin dia jika perlu aku akan menghukumnya lagi." tutur Brian.
Lamela hanya mengangguk.
Brian mencium kening Lamela lalu dia tersenyum ke arah Lamela yang sudah tersenyum senyum bahagia.
"Aku sayang kamu," ucap Brian sambil cengengesan berhasil membuat kedua pipi Lamela memerah karena tersipu malu.
"Udah udah, sana marahin dia! Aku lapar sayang."
Brian mengangguk mantap.
"Baiklah," jawab Brian.
Lamela memandangi tubuh Brian dari arah belakang. Menatap Brian yang berjalan ke arah kamar milik Kaina.
"Brian Brian. Entah aku yang sangat jahat atau kamu yang begitu bodoh sekali? Mau maunya di porotin hanya demi cinta bohongan, emang kamu kira aku benar mencintai kamu? Tidak Brian tidak! Aku hanya berpura pura layaknya musang berbulu ayam. Berpura pura hanya untuk memanfaatkan kekayaan orang tua mu saja karena kamu adalah sumber rekening aku. " Lamela tersenyum menang.
Setibanya Brian di depan pintu kamar Kaina dia sempat melihat ke arah Lamela sekilas lalu ia mencoba menggedor gedor pintu kamar tersebut sebab teriakan saja tidak cukup untuk membuat Kaina terbangun. Semua Kamar di rumah Brian di buat menjadi kedap suara bahkan jika pita suara putus karena teriak teriak pun yang berada di dalam kamar tidak akan bisa mendengar itu.
Bugh..
Bugh..
Bugh..
Pintu kamar itu sangat kuat sekali hingga membuat Brian sakit karena terus berusaha membuka kamar Kaina.
"Aduh sakit banget, keras lagi!" Gerutunya.
Brian berhenti sebentar, mengatur nafasnya lalu memikirkan cara lain untuk membuka pintu kamar tersebut.
"Kamar ini ada kunci cadangannya gak ya? Kayaknya setiap kamar di sini ada kunci cadangannya deh, bentar aku cari di laci depan." ujar nya lalu pergi menuju laci yang berada di ruang tengah.
"Lah kok cepat, pembantu kamu itu sudah bangun sayang? Kamu sudah memarahinya?" tanya Lamela.
"Belum, pintu kamarnya terkunci jadi aku gak bisa masuk! Ini aku masih mencari kunci cadangannya," jawab Brian sambil mengacak acak isi laci tersebut.
"Yah aku kira sudah bangun. Aku lapar sekali sayang. " Rengek nya.
Brian menoleh ke arah Lamela. "Kita pesan makanan aja, ya? Biar kamu gak kelaparan, ya?" kata Brian menawarkan.
"Enggak mau, kamu harus bangunin itu pembantu kamu sayang. Kamu harus menghukumnya, harus!"
"Iya." Kata Brian singkat lalu berjalan menuju kamar Kaina lagi.
"Kuncinya sudah ketemu?" tanya Lamela.
"Iya sudah ketemu." jawab nya.
"Yasudah hajar itu pembantu. Biar gak seenaknya lagi sayang, hajar!" Lamela semakin girang dengan itu.
"Semakin seru ini, apalagi kalau di siksa itu cewek pasti jauh lebih menarik lagi untuk di tonton tapi udahlah lagian juga banyak waktu untuk ngerjain dia. Sekarang ini aja dulu," gumam nya.
Lamela lagi lagi tersenyum senang. Dia sangat kesal terhadap Kaina karena kejadian kemarin.
Brian membuka kunci kamar Kaian lalu menutup pintu kamar tersebut dengan kasar.
BRAK!
Kaina masih tetap tertidur. Dia tidak merasa terganggu sedikitpun karena saat ini dia benar benar lelah sekali hingga bunyi nyaring pintu masih belum bisa membangunkan nya.
"Ternyata dia masih tertidur! Hn, dia kira dia nyonya di sini bisa bisa tidur dengan begitu nyaman di ranjangnya? Menyebalkan! Dia harus aku hukum. Iya, harus." tutur Brian lalu pergi ke kamar mandi untuk mengambil air.
Brian membawa air satu gayung ke arah Kaina. Dia sudah marah dengan Kaina yang terus tidur dengan seenaknya tanpa ingat waktu.
"Karena aku malas sekali membangunkan kamu, mungkin air ini bisa membuat kamu bagun. Jadi bersiaplah."
Brian langsung menyiram Kaina dengan kasar hingga membuat Kaina bangun dan terbatuk batuk karena air itu.
"Bagaimana? Sudah puas tidurnya? Atau masih kurang, ah?" tanya Brian.
Kaina mengusap wajah nya yang sudah basah.
"Maaf Mas, aku kecapean jadinya bangunnya kesiangan." jawab Kaina.
"Maaf, maaf kamu bilang? Kamu tau gak aku dan Lamela kelaparan karena nunggu kamu gak bangun bangun, kamu tau itu?!" bentak nya.
Lagi lagi Kaina hanya bisa mengucapkan kata maaf kepada Brian.
"Maaf Mas," ucap Kaina dengan menunduk takut.
"Kalau kamu memang gak mau bangun gak usah bangun sekalian, mati mati kamu aku gak peduli! Kamu kira kamu itu nyonya di sini hingga tidur dengan seenaknya sendiri, ah? JAWAB!!" teriak Brian.
Kaina diam. Brian sudah sangat marah terhadap Kaina percuma saja jika Kaina harus menjawab itu karena Kaina selalu salah di mata Brian.
"Bangun! AKU
dengan Kaina, kamu akan menyesal Brian, sangat menyesal sekali."

Posting Komentar